Lantai 80 (Cerpen)


 

Dahulu kala, di sebuah wilayah di Cina hiduplah 2 orang kaka beradik. Chen dan Zas. Mereka berdua terkenal sangat akur satu sama lain, saling menyayangi dan saling melengkapi. Banyak keluarga yang menjadikan mereka berdua sebagai panutan untuk anak-anak mereka. 

Chen dan Zas tinggal bersama di sebuah apartemen di lantai 80.


Suatu hari sepulang dari perjalanan mereka mendaki gunung, Zas tiba-tiba berkata pada kakaknya. 


"Astaga Kakak, aku lupa jika tepat tanggal 20 hari ini. Terdapat pemadaman listrik di wilayah kita"


Chen yang mendengar itu lantas terkejut " Bagaimana kau bisa lupa Zas? Lantas bagaimana kita akan sampai di kamar kita jika kita tidak menaiki lift. Menaiki tangga darurat hingga lantai 80 amat lah melelahkan. Apalagi kita baru pulang mendaki"


Mendengar perkataan Chen, Zas merasa sangat bersalah "Maafkan aku kakak, aku sangatlah Ceroboh"


Chen yang melihat adiknya itu merasa kasian. "Baiklah tidak ada pilihan lain. Aku hanya ingin kembali ke kamar dan merebahkan badanku.  Ayo kita naik tangga darurat saja" Chen menepuk pundak Zas. 


Akhirnya dimulailah perjalanan panjang nan melelahkan mereka berdua. Awal nya mereka baik-baik saja, mereka berbincang selama perjalanan. Terus menaiki anak tangga satu persatu. Mereka pun tiba di lantai 20.


"Aku sangat lelah kakak" ucap Zas, ia memegangi lututnya. Chen yang melihat nya hanya bisa terdiam, ia lantas memberikan sisa air minum nya pada sang adik. 


Setelah itu mereka melanjutkan perjalanan kembali. Saat sampai di lantai 25 Chen memberikan sebuah ide pada Zas. 


" Zas tas ini semakin lama semakin berat. Bagaimana jika kita meninggalkan tas ini untuk sementara disini? Setelah listrik menyala kita bisa menggunakan lift untuk mengambil nya kembali" Zas merasa ide itu cukup cermelang. Akhirnya kedua kakak beradik itu menaruh tas mereka dan kembali melanjutkan perjalanan. 


Saat di lantai 43 Chen yang sudah kelelahan mulai menyalahkan adiknya yang ceroboh itu. 


"Ini sungguh melelahkan, seandainya saja kamu tidak ceroboh dan melihat jadwal pemadaman listrik kita pasti tidak akan seperti ini" 


"Loh, ini tidak sepenuhnya salahku. Sejak dulu kau selalu membuat ku mengurus semuanya, dan kalau aku melakukan kesalahan kecil itu bukan lah hal yang masalah kan. Dibandingkan kau yang suka menyuruh dan menyalahkan aku jelas lebih baik" Zas membalas perkataan kakaknya dengan sengit. 


Chen yang mendengar perkataan adiknya lantas kembali membalas perkataannya tak kalah sengit. Kedua kakak beradik itu terus saja bertengkar hingga tak sadar mereka sampai di lantai 50. 


"Sudahlah Zas, bertengkar justru akan membuang tenaga kita. Lebih baik kita lanjutkan saja menaiki tangganya supaya kita cepat sampai dan istirahat" Zas mengangguk mendengar perkataan Chen. 


Mereka berdua hanyut dalam diam. Dengan sisa sisa tenaga yang mereka miliki, mereka berusaha menyelesaikan 30 lantai terakhir. 


Saat di lantai 60, Zas mulai menyadari kesalahannya. 


"Kakak, maafkan aku. Ini semua memang salahku yang sangat ceroboh" ucapnya menyesal.


Chen yang mendengar permintaan maaf Zas juga ikut merasa menyesal. " Tidak Zas, ini salahku yang selalu membuat mu mengurus semuanya hingga kau kelelahan. Maafkan aku. Sungguh, hanya karna pemadaman listrik sialan ini kita sampai harus bertengkar" Zas tersenyum mendengar perkataan Chen. 


Akhirnya mereka berdua sampai di lantai 80. Chen langsung duduk di depan pintu kamar mereka, tenaga nya habis sudah, nafasnya tersengal. Saat hendak membuka pintu, Chen melihat wajah adiknya yang mendadak pucat.


"Ada apa Zas? Cepat buka pintunya" Chen mendongakkan kepalanya, ia terheran melihat adiknya yang masih diam sambil berdiri di sampingnya. 


"Kakak... Bukankah pintu kamar kita ada di tas milik mu yang kita tinggalkan di lantai 25?" Suara Zas terdengar parau. Chen yang mendengar nya seketika terhenyak. Sia sia perjuangan mereka menaiki tangga hingga lantai 80 jika pada akhirnya mereka harus tetap menunggu listrik kembali menyala yang entah kapan.  


***


Terkadang hidup itu seperti kisah mereka berdua.


Saat kita masih anak-anak ataupun remaja kita masih bisa menikmati hidup selayaknya, selalu tertawa dan bahagia sampai kita tiba di usia 20. Semuanya masih terasa baik-baik saja, dunia masih  jadi tempat yang paling indah.


Saat di umur 25 kita mulai lelah oleh semuanya, adakalanya semua hal yang kita inginkan selalu tidak sesuai harapan. Akhirnya kita memutuskan untuk melepaskan semuanya melepaskan beban di punggung kita dan melepaskan semua mimpi-mimpi kita. 


Kita kembali merasa bebas dan kembali bisa melanjutkan hidup.

Namun sekitar umur 40-an, ketika kita kembali dipermainkan oleh kenyataan dan merasa lelah oleh semua angan ingin, kita mulai saling menyalahkan satu sama lain mencari kebenaran yang sebenarnya tidak ada. Terus bertengkar dan terus bertengkar sehingga kita tidak terasa semakin tua. Saat sudah sampai di umur 50, tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain diam dan tetap melanjutkan. Saat usia kita terus bertambah saat kita sudah sampai usia 60, kita mulai menyadari kesalahan kita meminta maaf pada orang di sekitar kita meskipun semuanya sedikit terlambat. 


Hingga tiba di penghujung kehidupan, saat kita sampai di umur 80 tahun, saat kita merasa semuanya sudah berakhir, ternyata masih ada yang belum benar-benar selesai. Apakah itu? Ya... Itu adalah semua mimpi yang kita tinggalkan saat usia kita baru 25 tahun, saat ini sudah benar-benar terlambat untuk memperbaiki nya, terlambat untuk mulai dari awal, dan terlambat untuk menyesalinya. Karena sejatinya, saat kita sudah semakin tua, tidak ada lagi sisa tenaga yang kita punya, kita hanya bisa terdiam dan meratapinya. 


Jadi sekarang kuharap kamu tau, apa yang harus kau lakukan dengan mimpimu.


Pocahontas

X MIPA 3


Komentar

Postingan Populer