China 1966



 China, 1966

“Kita harus berhenti bertemu dengan cara seperti ini.”

Jantung Sam rasanya nyaris berhenti berdetak. “...kenapa, Xiao?” bisiknya lirih, bibir menyapu plump lawan bicara yang gemetar, entah karena angin dingin atau atmosfer berat di sekitar mereka.

“Baba mulai curiga kenapa aku bersikeras melihat bunga-bunga setiap senja.” Chengxiao tertawa dipaksakan. “Tidak mungkin aku katakan bahwa aku ke kebun hanya untuk bertemu denganmu, kan, cinta?”

“Tidakkah kau menyayangiku?”

Sang lawan bicara tergugu, menundukkan pandang sementara jemari mungil nan lentik itu membelai wajah Sam, membuat sang empunya refleks memejamkan mata syahdu. “Kau tidak boleh meragukan perasaanku,” bisiknya sedih. “Tapi tidak ada yang bisa aku lakukan.”

Pelukan di pinggangnya mengerat, dan Chengxiao sontak memejamkan mata. “Dunia sudah berubah, Xiao.”

“Dunia di sekitar kita sudah berubah, cinta. Sayangnya duniaku dan duniamu masih terikat tradisi masa lalu.” Chengxiao tersenyum sedih, mendongak untuk mengecup rahang tegas lelaki di hadapannya. “Jangan ragukan perasaanku, Sam. Jangan salahkan aku. Salahkan benang-benang takdir rumit yang kejam melilit hidup kita.”

Sam tak melepaskan rengkuhan, pun Chengxiao yang hanya menghela nafas dengan lengan masih mengalung di leher Sam, menghembuskan nafas panas di bawah telinga pemuda itu. “Ketua Mao di ibukota—“

“Ketua Mao punya ide-ide hebat,” Chengxiao mengakui. “Tapi idenya terlalu radikal. Akan susah menerapkannya di sini, terutama dengan tradisi yang kita punya.”

“Kau mendapatkan buku itu di sekolah?”

Chengxiao menggeleng. “Guru-guru menyitanya sebelum tiba di tangan kami. Katanya buku itu akan mengkorupsi—“

“Otak-otak kecil nan polos para pewaris bangsa.” Sam meneruskan dengan nada bosan. “Kapan mereka akan sadar kalau kalian sudah delapan belas tahun?”

“Kau mendapatkannya?” Chengxiao mengerjap saat pemuda itu mengangguk.

“Buku Merah. Tentu saja aku mendapatkannya. Sekolahku berisi orang-orang terpelajar, Xiao. Kami didanai pemerintah. Harus kuakui, ide-ide Ketua Mao sangat cerdas.”

“Idenya mengerikan.”

“Cerdas, cinta.” Sam mengoreksi. “Bayangkan, jika kelas-kelas dihapuskan, kau dan aku ada di strata yang sama.”

“Itu mengerikan! Semua orang ada di strata yang sama—tidak ada yang akan mengatur mereka, akan ada kekacauan!”

“Apakah menurutmu begitu?” Sam tersenyum, mengetuk dahi Chengxiao. “Jadi itulah yang dipikirkan para tuan dan nona muda sepertimu? Bahwa mereka yang ada di strata bawah tidak akan menuruti kalian lagi?”

Saat Chengxiao hanya terdiam, Sam melanjutkan. “Atau kau takut mereka yang ada di strata bawah membalaskan perlakuan semena-mena kalian yang berada di atas?”

“Sam!” Chengxiao mendesis. “Kau telah dikorupsi buku itu!”

“Dan kau telah dikorupsi tradisi kolot itu, cinta.” Sam menghela nafas lelah. “Bayangkan sebuah dunia di mana kita semua sama—kau dan aku, kita punya kesempatan yang sama untuk mewujudkan apapun—“

“APA YANG KAU PIKIR SEDANG KAU LAKUKAN, SAM?!”

Baik Sam dan Chengxiao tersentak, spontan melepaskan rengkuhan mereka saat suara menggelegar itu terdengar. Chengxiao mengerjap sementara seorang wanita paruh baya menarik telinga Sam dan memaksanya bersujud bersamanya di depan Chengxiao. 

“Maafkan kelancangan putraku, Muda. Maafkan kami, kami bersalah.”

“Aku—eh,” Chengxiao berdehem. “—Sam tidak bersalah.”

“Anda memang murah hati, Nona Muda. Tapi kelancangan putraku sudah melewati batas. Maafkan keteledoranku mendidiknya, tolong jangan adukan kami pada Tuan Besar.”

“Tolong jangan bersujud di hadapanku,” Chengxiao berlutut di depan dua orang itu, salah tingkah. “Aku tidak akan mengatakan apapun pada Baba, aku janji.”

Ibu Sam nampak seperti akan menangis, sementara sang pemuda menatap Chengxiao dengan tatapan kosong, sebelum tersenyum miring dan berbisik tanpa suara.

“Pikirkan, cinta. Sebuah dunia di mana kita bisa mewujudkan apapun—“

Diam. Tundukkan pandangan. Nona Muda Chengxiao terlarang untukmu.

Sam menggigit bibir saat kaki-kaki kecil berbalut sepatu kulit bersulam bunga lotus emas itu berhenti di pandangan matanya, sementara suara ibunya bergaung berkali-kali dalam kepalanya.

Sang pemuda berlutut, dengan sigap mengikatkan temali sepatu majikannya tanpa memandang wajah secantik rembulan itu. Chengxiao nampaknya menyadari kegusarannya, karena pemuda itu dengan sengaja menjatuhkan penanya ke lantai sebagai alasan untuk membungkuk dan menyamakan wajahnya dengan Sam.

“Tolong tatap aku, cinta,” bisiknya. “Aku harus melihat wajahmu.”

“Diam. Tundukkan pandangan. Nona Muda Chengxiao terlarang untukku.” Sam membalas dalam gumaman, menggigit bibir kuat-kuat sementara raut wajah Chengxiao berubah. Pemuda itu kemudian menegakkan tubuh, meski masih menghindari pandangan Chengxiao. “Sudah selesai, Nona Muda.”

Chengxiao menatapnya dan mengatupkan bibir rapat-rapat, tanpa suara meninggalkan kasihnya sendiri di sana, sementara suara menggelegar ayahnya menyuruhnya segera berangkat sekolah.

Pun Sam sama sekali tak meliriknya, menyibukkan diri dengan tugas-tugasnya hingga sang ibu menghampirinya.

“Cepatlah sirami bunga di kebun agar kau bisa segera berangkat sekolah.”

Sam mengangguk tanpa suara, berlari ke kebun bunga dan mulai menyirami puluhan tanaman di sana. Ada mawar dan peoni yang menjadi kesukaan Chengxiao, serta kebun bunga matahari yang sering dijadikan tempat dia bermain petak-umpet bersama Sam saat masa mereka kecil dulu.

Setelah mencuci tangan cepat-cepat dan berganti baju, Sam menyalimi ibunya sebelum berlari ke jalan besar, menuju sekolahnya. Di sana-sini ada banyak remaja lain yang berpakaian sama dengannya, dengan tas dan topi kumal mereka, memeluk buku-buku yang sama kumalnya di dada.

Di halaman sekolah sendiri, sudah banyak siswa-siswi yang hadir dan berkumpul bersama teman-teman mereka. Satu-dua mengangkat alis sebagai sapaan ketika melihatnya, dan Sam menyeringai saat menemukan mereka semua menggenggam benda yang sama.

“Sam, Sam!” Seorang gadis melambaikan buku berwarna merah yang identik dengan milik kawan-kawannya yang lain. “Sudah sampai halaman berapa kau baca?”

“Baru setengah,” Sam mengulas senyum menawan. “Kau pasti sudah menghabiskannya, bukan begitu, ?”

“Ya!” Gadis itu mengangguk. “Ketua Mao memang hebat! Seluruh ucapannya dalam buku ini benar-benar—benar-benar—“ Ziel nampak kesulitan memilih kata yang tepat.

“Hebat?” tawar Sam.

“Lebih dari hebat! Dia revolusioner!”

Sam mengangguk-angguk setuju, mengulurkan tangan untuk menepuk kepala gadis itu. “Baca lagi hingga kau hafal, Ziel.”

Sang gadis mengangguk, sudah bukan rahasia lagi dia menyimpan perasaan pada Sam. Semua orang yang mengenal mereka menganggap mereka cocok. Putri petani miskin yang cerdas dengan putra pelayan yang juga miskin dan cerdas? Pasangan yang dipilihkan oleh takdir.

Jika dia yang menuliskan takdir benar nyata, ingin Sam tertawa di depannya. Bagaimana jika sang putra pelayan miskin ternyata tidak tahu diri dan lebih memilih mencintai putra majikannya yang kaya-raya, dengan wajah secantik rembulan?

“Katanya kita diundang ke ibukota, Sam.” Ziel berujar lagi. “Ketua Mao mengirimkan surat ke sekolah.”

“Oh, ya? Guru-guru tidak akan suka.”

“Profesor Yuanzi dari Peking datang langsung ke sini kemarin. Dia mendesak guru-guru untuk membiarkan kita pergi ke alun-alun Tiananmen.”

“Profesor dari Peking datang ke Tsinghua? Ketua Mao benar-benar serius dengan idenya.” Sam tertawa semangat. “Kau akan pergi ke alun-alun?”

“Tentu saja!”

“Kau tidak boleh pergi

“Kau tidak boleh pergi. Apa kata Tuan Besar? Dia akan marah.”

“Ibu, apakah ibu lebih takut pada Tuan Besar daripada pada Ketua Mao?” Sam menjawab kalem. “Dunia akan berubah, bu. Tuan Besar akan sama seperti kita setelah ide-ide Tuan Mao terwujud. Kita akan hidup bahagia.”

“Hapuskan imajinasi indah itu dari kepalamu, Sam. Sekarang bantu ibu menguliti kacang polong.”

Sam merengut, meski tangannya dengan sigap mengerjakan hal yang diperintah ibunya. “Coba bayangkan, suatu dunia di mana kita semua sama, bu. Tidak ada lagi yang bisa membentak-bentak ibu jika ibu melakukan kesalahan kecil. Kita tidak perlu bersujud minta maaf jika ketakutan. Dunia di masa depan yang jauh lebih indah dari dunia kita sekarang, bu!”

“Otakmu itu sudah habis diisi mimpi-mimpi indah, ya?” Sang ibu berujar jengkel. “Tidak ada yang namanya dunia masa depan, inilah dunia kita.”

“Orang-orang seperti ibu lah yang sebenarnya membuat kita terjebak kehidupan sengsara seperti ini.” Sam berujar tajam. “Ibu tidak mau terbebas dari hidup ini.”

“Anak bandel! Mati sana kalau ingin terbebas dari hidup ini!” Wanita paruh baya itu menghela nafas. “Jangan buat ibu semakin lelah, Sam. Tidak usah bermimpi terlalu tinggi, kemarin kau mengoceh soal Nona Muda Chengxiao, sekarang tentang terbebas dari hidup sengsara. Lama-lama kau akan bermimpi bisa tinggal di bulan.”

“Apa itu salah?”

“Tentu saja salah! Bisa-bisanya kau berpikir untuk ke alun-alun Tiananmen, ingin meninggalkan ibumu bekerja sendirian, ya?”

“Alun-alun Tiananmen?”

Baik Sam maupun ibunya menoleh ke asal suara. Chengxiao berdiri di pintu dapur dengan kening mengernyit lucu.

“Kau akan pergi ke perkumpulan itu?”

“Nona Muda Chengxiao—“

Chengxiao mengabaikan ucapan ibu Sam, fokus pada pemuda yang masih menolak menatapnya. “Tatap aku, cinta. Katakan itu tidak benar.”

Suara decak kaget sang pelayan wanita atas sebutan Chengxiao untuk Sam terabaikan.

“Sam...?”

“Aku akan pergi ke sana.” Sam menghela nafas. “Aku akan ke alun-alun Tiananmen.”

“Kau ingin bergabung bersama mereka?” Chengxiao berucap tak percaya. “Tentara Merah Ketua Mao. Kau akan bergabung?”

“Salah?”

“Sam, apa kau membenciku?”

Kalimat itu akhirnya berhasil membuat Sam menatap Chengxiao, raut wajahnya terkejut. “Dari mana kau berpikir—“

“Tentara Merah membenci para tuan tanah dan keturunannya, Sam. Aku—mereka membenciku.”

“Aku tidak melakukan ini karena membencimu,” Sam menyergah. “Ini untukmu, cinta. Semua yang kulakukan adalah untukmu, untuk kita. Jika tidak ada lagi strata—kita bisa bersama—kumohon percaya padaku.”

Chengxiao mengatupkan bibir rapat-rapat.

“Kau percaya padaku kan, cinta? Ini semua untuk kita.”

Sam ikut bersorak dan bertepuk tangan bersama ribuan remaja lain saat Nie Yuanzi sang pemimpin Tentara Merah mengikatkan ban lengan khusus pada sang kepala negara yang menunjukkan dukungan penuhnya terhadap gerakan yang dilakukan mereka yang menamai diri sebagai Tentara Merah.

Sam tersenyum makin lebar saat sang kepala negara berpidato, menyebut-nyebut keadilan dan penghapusan kelas-kelas sosial, bahwa revolusi akan terjadi mulai saat itu juga, bahwa tidak ada orang yang berhak berada di atas atau layak berada di bawah. Bahwa sesungguhnya mereka semua sama.

Sang pemuda mengikuti arak-arakan remaja-remaja lain, seumurannya atau lebih tua, yang mulai bergerak maju di jalan tersebut. Wajah-wajah lelah yang familiar, dengan senyum lebar kemenangan yang terukir.

Namun satu wajah yang terlewat familiar menangkap perhatiannya.

“Sam!”

“Chengxiao?” Sam tersenyum, merentangkan tangan menyambut kasihnya yang sibuk melawan arus masa untuk mencapainya.

Namun wajah pemuda itu gusar, pakaiannya yang biasanya selalu tertata rapi dan elit nampak berantakan.

“Baba dan Mama!” Chengxiao menarik-narik lengan Sam. “Kau jahat! Kalian semua jahat!”

“Aku?” Sam mengernyit. “Ada apa, cinta?”

“Borjuis!”

Salah satu dari banyak remaja di sana nampaknya memperhatikan penampilan Chengxiao yang berbeda dari mereka semua. Tentu saja, kemeja satin bersulam benang emas itu akan tampak sangat mencolok di antara para pemuda dan pemudi berkemeja katun biasa.

Belasan pasang mata beralih menatap Chengxiao dengan pandangan tajam. Instingtif, Sam menarik Chengxiao ke dalam rengkuhannya.

“Borjuis?”

“Kami dari Tsinghua, bukan strata atas.” Sam berucap tegas. Dia kemudian beralih pada Chengxiao. “Ada apa dengan Baba dan Mamamu?”

“Tentara Merah membakar habis rumahku.”

“Ibuku?”

“Ibumu dan pelayan lainnya selamat.”

“Tidak apa-apa, cinta.” Sam mengecup puncak kepala Chengxiao. “Tidak apa-apa.”

“Apanya?!” Chengxiao memekik. “Bagian mana dari ceritaku yang tidak apa-apa?!”

"Chengxiao, dengarkan. Ketua Mao bilang ini tidak apa-apa, terkadang hal seperti ini diperlukan untuk mendisiplinkan orang jahat.”

“Jadi menurutmu Babaku orang jahat?” Chengxiao memaksa Sam melepaskan rengkuhannya, menatap pemuda itu tajam. “Jadi menurutmu kami pantas mendapatkan semua ini?”

“Chengxiao, aku—“

“Tidakkah kau menyayangiku, Sam?”

“Jangan meragukan perasaanku.” Sam berujar cepat. “Tapi cinta, bahkan kasih sayang pun akan melentur di depan keadilan.”

“Baiklah.” Chengxiao menatap Sam tajam. “Baik. Kurasa aku memang harus berhenti di sini.”

“Cinta—?”

“Jangan memanggilku seperti itu. Aku bukan cintamu lagi. Pikiranmu telah dikorupsi ide-ide Ketua Mao, bahkan tidak ada belas kasih yang tertinggal di sana.” Pemuda itu berusaha sekuat tenaga mendelik dengan mata berkaca-kaca. “Jangan cari aku. Aku pergi.”

Hari-hari berlalu.

Sam menghela nafas, dan dengan satu kilasan pandang, melempar korek yang menyala ke rumah besar di hadapannya yang sebelumnya sudah dilempari kawan-kawannya dengan minyak tanah.

Salah satu anggota timnya menepuk pundaknya semangat. “Hei, Sam! Kerja bagus!”

Sang pemilik nama tersenyum sekilas, melirik ke arah kumpulan orang yang nampak berbicara seru. “Apa yang mereka bicarakan?”

“Tidak tahu.” Gadis yang berbicara dengannya mengendikkan bahu. “Katanya mereka menemukan banyak jasad di daerah Utara, dan sedang berdiskusi untuk membagi-bagikan pakaian dari situ secara adil. Katanya jasad-jasad borjuis.”

Sam meringis, memutuskan jauh-jauh dari kumpulan itu. Dia tidak ingin apapun yang berasal dari jenazah orang meninggal. Pilihan lain hanyalah bersama kelompok petinggi yang sedang membicarakan rencana mereka selanjutnya.

“Selanjutnya kita disiplinkan yang mana?”

“Aku ingin para guru muda. Mereka bersikap seakan-akan tahu segala hal di dunia.”

“Kaum borjuis di Selatan, yang menolak keras ide ketua Mao.”

“Atau orang-orang dari partai sebelah.”

“Kita tidak ada hubungannya dengan politik. Biarkan orang-orang partai sebelah menjadi urusan orang dewasa.” Sam menimbrung dalam pembicaraan. “Dan banyak guru muda yang justru mendukung kita, sebenarnya.”

“Kalau begitu pilihannya tinggal kaum borjuis di Selatan.”

“Setuju!”

“Sekarang kita istirahat. Panggil yang lain untuk makan malam. Sudah cukup pekerjaan hari ini, kalian semua bekerja dengan baik. Terutama kau, Sam. Pintar sekali kau menemukan tempat persembunyian tuan tanah sekaligus rentenir jahat itu.” Yang paling tua di antara mereka menepuk pundak Sam.

Sam hanya tersenyum, dia tidak bisa bilang dia tahu tempat itu karena itu adalah rumah salah satu paman Chengxiao, kan?

Ah, berbicara mengenai Chengxiao. Apa kabarnya, ya?

Sam rindu, sebenarnya. Sangat. Tapi mereka sudah berbeda ide dan kepercayaan. Ironis sebenarnya, karena awalnya alasan dia bergabung dengan Tentara Merah adalah agar hubungannya dengan Chengxiao tak lagi dihalangi kasta atau strata. Tapi sekarang mereka malah berpisah karena ideologi yang berbeda.

Tentara Merah sedang mengadakan gerakan revolusi besar-besaran di mana-mana. Sam hanya berharap, di manapun Chengxiao berada, dia akan baik-baik saja. Sam berharap dia mau benar-benar melupakan status borjuisnya agar tak diganggu oleh para Tentara Merah yang lain.

“Kalian pergi tidurlah!” Ketua kelompoknya menepuk-nepukkan tangan. “Besok hari besar!”

 “Besok hari besar!”

“HAHAHAHAHAHA!”

“Rasakan ketidakberdayaan yang menjadi makanan kami selama bertahun-tahun!”

Sam berusaha menjaga ekspresinya tetap datar saat teman-teman sesama Tentara Merahnya menghancurkan rumah besar yang berdiri kokoh, milik salah satu keturunan bangsawan zaman dinasti Song dulu.

Dia kenal rumah itu, tentu saja. Milik salah satu keluarga Chengxiao yang lain. Entah paman atau kakek buyutnya. Itulah sebabnya Sam berdiam diri dan hanya menonton, tak melakukan apapun untuk membantu teman-temannya.

“Memang tidak ada lagi orang di rumah ini?” tanyanya pada salah satu Tentara yang membawa jerigen bensin.

“Kurasa sudah melarikan diri semua, takut pada keadilan.”

“ADA ORANG!”

Sam dan yang lain segera bersiaga saat salah satu anggota kelompoknya berteriak.

“Minghao? Orang siapa?”

“Aku baru saja mengecek, ada beberapa orang di dalam rumah. Tapi—“

Sam menggigit bibir. “Tapi?”

“Tapi.” Pemuda itu tak melanjutkan ucapannya, hanya menunjuk ke pintu kayu besar nan mewah itu, menyuruh yang lain melihat sendiri.

Sam dan dua orang pemuda menerobos masuk, diikuti yang lainnya. Pemuda itu menahan nafas saat melihat beberapa orang yang berbaring di sofa atau duduk di kursi dengan mata terpejam.

“Tidur?”

“Tewas. Bunuh diri, sepertinya.”

“Racun?”

“Mungkin.”

“Lucu sekali, bahkan saat mati pun mereka tetap ingin terlihat elegan.”

Sam mengabaikan diskusi di sekitarnya tentang aksi bunuh diri kaum borjuis ini, matanya terpaku pada satu sosok yang tidur meringkuk di sofa tunggal yang empuk, kepala berpangku pada lengan sofa dan berwajah damai, sekilas akan terlihat bahwa dia hanya beristirahat sejenak dari kejemuan kegiatannya.

Oh, sudah berapa kali Sam melihat pemandangan ini dalam hidupnya? Chengxiao-nya yang cantik, tertidur tanpa sengaja di atas kursi dengan wajah damai setelah kelelahan belajar untuk ujian esok hari.

“Cinta,” Sam berlutut di sampingnya, mengulurkan tangan dengan hati-hati pada sosok itu. Sam berjengit merasakan dinginnya tubuh Chengxiao, dan tiadanya tanda-tanda kehidupan di sana. “Xiao, kau bercanda. Kenapa kau di sini?”

Tak bergerak. Tentu saja, Sam mencemooh dirinya sendiri.

“Hei, cinta? Bangun, ini sudah pagi.” Sam menggigit bibir, meremat kemejanya sendiri. “Atau kau ingin aku membiarkanmu tidur lima menit lagi, cinta? Apakah mungkin kau sedang memimpikan masa depan kita, karena itu kau menolak bangun?”

Sam melirik kawan-kawannya yang sibuk mencari hal-hal berharga di sana-sini untuk dibagi-bagi, kemudian fokusnya kembali pada sosok Chengxiao.

Chengxiaonya yang periang, Chengxiaonya yang indah. Chengxiaonya yang direnggut kejamnya jalinan benang takdir.

“Kau jahat, cinta. Meninggalkanku begitu saja. Berbahagia sendiri di sana.” Sam membersut, tersenyum miris pada diri sendiri. “Tapi kurasa tempat itu lebih baik untukmu, cinta. Damai kan? Di sana kau akan bersenang-senang sembari menungguku.”

Tak mempedulikan anggapan aneh yang mungkin akan dipikirkan teman-temannya jika melihatnya, Sam menunduk untuk mengecup pelipis Chengxiao yang tak terusik sama sekali. “Tunggu aku di sana, cinta. Di dunia di mana hanya ada kita yang merajut semesta.”


Keadilan apa lagi yang harus dia perjuangkan, saat takdir memang tak pernah bermurah hati sejak kali pertama?


[End]


*


**catatan 

- Red Guards atau Tentara Merah adalah kumpulan remaja yang digunakan Mao Zedong (pemimpin komunis China) pada 1966 untuk menyebarkan propaganda komunisme dan membantu revolusi dari kapitalisme ke komunisme, Nie Yuanzi adalah ketua gerakan awalnya, berasal dari Tsinghua University of Middle School


- Tidak pernah ada kejelasan remaja dari umur berapa yang direkrut. Beberapa menyebutkan setaraf SMA, ada yang menyebutkan SMP, ada juga yang menyebutkan universitas


- Tentara Merah mendapat kebebasan dan dana dari pemerintah untuk melakukan apapun pada kaum borjuis (tuan tanah dan semua strata ‘atas’ saat masa kapitalisme). Pemerintah tutup mata saat kaum strata atas dan keturunannya dianiaya hingga dibunuh dengan dalih ‘mendisiplinkan orang jahat’


- Pada September 1966 sendiri tercatat ada 1.772 orang yang terbunuh oleh Tentara Merah di Beijing, dan 704 kasus bunuh diri di Shanghai, untuk menghindari penganiayaan dari Tentara Merah. Belum lagi daerah Tiongkok lainnya


- Tidak hanya kaum strata atas, anggota Tentara Merah juga sering kali memberontak pada guru-guru yang memiliki kekuasaan absolut dan menyalahgunakan wewenang.


- Buku Merah yang dimaksud di sini adalah ‘Quotations from Chairman Mao Zedong’. Dulu di masa pemerintahannya, buku ini dianggap sama seperti ‘kitab suci’ yang wajib dipelajari dan diteladani. Tindakan yang melecehkan buku ini bisa diganjar hingga hukuman mati


- Kisah Tentara Merah sendiri di China menjadi bagian sensitif dan tersensor dalam sejarah China, sangat sedikit bukti sejarah yang ada untuk menjelaskan hal ini

- Kisah Tentara Merah sendiri di China menjadi bagian sensitif dan tersensor dalam sejarah China, sangat sedikit bukti sejarah yang ada untuk menjelaskan hal ini


- Cuma berbahan riset ensiklopedia, buku sejarah, dan google. Kalau ada kesalahan, jangan segan mengoreksi


- Ini adalah fiksi sejarah, dimana sejarah digabungkan dengan fiksi. Tidak sepenuhnya benar dan tidak sepenuhnya salah.





- Khalilah Putri Ayunda X IPS 4 -
   

Komentar

Postingan Populer