“Grace Anastasya Nathalie, 10 IPS 4.”
“Yes!” Grace mengangkat kepalan tangannya ke udara, ketika petugas tata usaha yang sedang membacakan daftar nama baru hasil rolling kelas setelah liburan semester genap.
“Graaaceee!”
“Sini, sini!”
Orang-orang di barisan paling ujung kiri, tenpat dimana siswa dan siswi yang akan menjadi anggota baru kelas IPS 4 berbaris, heboh berdadah-dadah saat Grace bergabung.
“Mahesa Halden Putra, 11 IPS 4.”
Grace hanya melirik Mahesa yang melewati dirinya dan berdiri dibarisan belakang. Mereka memang tidak begitu dekat, tapi ia tahu bahwa Mahesa seorang yang memengaruhi sekolahnya.
“Alfikar Adrian, 11 IPS 4.”
“Gila euy, juara umum semester lalu gabung di IPS 4 semua! Mana lainnya emas-emas semua, lagi. IPS 1, IPS 2 sama IPS 3 apa kabar ntar, nih?” Seorang siswa dari kelas IPA yang tidak Grace kenal, berkomentar sengit.
Grace terdiam mendengar komentarnya, kemudian menganalisis ketiga-puluh-empat orang yang sudah ditetapkan menjadi anggota baru kelasnya. Benar juga, ada Alfikar si juara umum satu, Mahesa yang juara umum dua, serta dirinya sendiri yang berhasil menyabet tempat ketiga.
Selain itu, ada Nancy sang model blasteran, Eric yang atlit futsal, Athala yang menjadi ace tim cheerleader sekolah, hingga Delana si ketua paduan suara.
Pantas saja dari tadi Grace merasa banyak pandangan sengit yang ditujukan kepada mereka. Kelas IPS 4 yang di tahun-tahun sebelumnya —menurut cerita para senior— adalah kelas paling santai karena selalu berisi siswa berandal atau tak memiliki kelebihan, kini diisi bakat-bakat yang menjanjikan.
Grace seketika menoleh ke sekelilingnya. Para gadis saling berbisik ke satu sama lain, tatapan mereka tak lepas dari Mahesa dan Alfikar yang nantinya akan menempati kelas IPS 4 nantinya. Omong-omong seisi sekolah mengenal mereka sebagai rival, Alfikar si murid baru yang langsung mendapat sambutan hangat dari ketua osis karena keramahannya dan seseorang yang mudah akrab dengan orang lain dan juga Mahesa si murid baru yang terkenal sopan dan berwawasan luas. Keduanya cukup terkenal dari awal menginjakkan kaki di kelas 10 dan juga dikarenakan tampang mereka yang cukup tampan membuat mereka terkenal dikalangan perempuan.
Para siswi beberapa menyimpan kekaguman padanya dan secara terang-terangan menyukai mereka, sedangkan para siswa terbagi antara membencinya karena mereka tidak begitu terkenal dan tersaingi dalam hal kepintaran dengan mereka.
Bagi Grace itu tidak akan menjadi masalah yang besar untuknya, namun kemudian ia meringis ketika membayangkan dirinya harus bersaing dengan orang-orang yang lebih pintar. Benar, ia merasa agak egois sekarang.
Dia tidak membenci dua pemuda itu secara khusus, namun dirinya pasti akan mendapatkan nilai atau peringkat dibawah mereka berdua. Grace hanya ingin menghabiskan setahunnya di kelas sebelas dengan belajar tenang dan mendapatkan nilai yang bagus serta ranking satu.
Grace kembali menjatuhkan pandang kepada Alfikar dan Mahesa, menjaga mati-matian ekspresi wajahnya agar tetap ramah dan tak memutar bola mata jengah. Dia harus berbaur pada semua orang, bahkan pada sang pemuda yang kini berdiri di bagian barisan paling belakang.
“Eh, kita belum kenalan, kan?” Grace membuka percakapan pada orang di sebelahnya. “Gue Grace, lo?”
“Delana,” Sang gadis tersenyum. “Boleh panggil Lana juga kok, kalau terlalu panjang.”
Percakapan mereka nampaknya menarik perhatian yang lain, karena beberapa orang ikut menimbrung.
“Gue Eric!” Sang atlit mengulurkan tangan, menyalami Grace dan Delana. “Woi Atha, sini!”
Athala berjalan mendekat setelahnya. “Gue Athala, salam kenal ya cantik-cantikku.” ujarnya sembari mengedipkan sebelah mata, menyebabkan yang lain tertawa. Eric kemudian menaruh tangannya di sekitar mulut dan berseru kepada yang lain. “Woi member baru IPS 4 saling kenalan ayok, diem-diem aja, nih! Anak IPS harus solid dong!”
“Siaaap!”
Barisan itu segera memecah, para anggotanya saling memperkenalkan diri ke satu sama lain, berusaha membaurkan diri.
Grace melihat mengedarkan pandangannya kepada Alfikar dan Mahesa yang dikerubungi oleh siswi-siswi untuk berkenalan, padahal ada maksud lain dibalik sekedar ‘berkenalan’. Grace menghela nafas melihatnya, menunggu mereka menjauh lalu memutuskan untuk mendekat kepada mereka dan mengulurkan tangan. “Hai, gue liat kalian terkenal banget nih ya. Kenalin gue Grace.”
Mahesa mengangkat alis menatapnya, mengabaikan uluran tangannya namun Alfikar-lah yang akhirnya menjabat tangannya. “Ngga kali, lo juga terkenal ‘kan Grace? Siapa sih yang gak tau pelukis dan penyanyi suara emas yang juga pinter kalau bukan Grace yang ini? Btw gue Alfikar.”
“Gue Mahesa, panggil aja Esa ya.”
Grace nyaris memasang wajah datar saat mendengar jawaban Mahesa. “Yaudah lah, nice to meet you ya guys, gue harap kita kedepannya bisa saling bantu dan bisa kerja sama ya.
———
Ah, kalau di ingatkan dengan awal perkenalan mereka hingga menjadi seakrab ini kalian juga tidak akan percaya jika Mahesa yang awalnya sering terang-terangan melemparkan tatapan sinis kepada Grace akhirnya menjadi Mahesa yang kemana-mana merangkul Grace. Jangan lupa Alfikar yang juga sering bersama Grace karena mereka mengikuti eskul yang sama, benar, ketiga juara seangkatan itu berteman bersama-sama dan bahkan terkadang mereka sering bertukaran posisi ranking di kelas agar adil katanya.
Mengikuti lomba cerdas cermat mewakili sekolah di tingkat nasional, lomba debat melawan SMA se-kota, KOSN, O2SN, lomba pidato, menyanyi, melukis, dan lain-lainnya berhasil disabet mereka bertiga. Bahkan saat pensi di SMA, mereka menampilkan penampilan grup band dan membawakan lagu musisi yang hits pada saat itu.
Namun, tanpa mereka sadari perasaan yang sama hadir menyelimuti hati mereka. Mahesa yang menyimpan perasaannya diam-diam (yang sebenarnya) ia simpan saat pertama kali melihat Grace menampilkan puisi buatannya di depan kelas, Alfikar yang sering bertemunya dan berkontak fisik dengannya dan Grace sendiri pun bingung. Ia bingung ia menyukai siapa dari keduanya.
Grace itu egois. Alfikar si keras kepala. Dan Mahesa yang memiliki sifat keduanya.
Saat Mahesa tahu bahwa Alfikar menyukai Grace karena ia tidak sengaja mengintip wallpaper dan pinned message di handphonenya adalah Grace, ia tahu betul Alfikar menyukai Grace dan lebih berani darinya. Namun siapa sangka? Mahesa menyatakan perasaannya saat gerimis membasahi kepala mereka dan jalan ke arah rumah Grace saat Mahesa memboncenginya pulang kerumah.
Keduanya juga sepakat merahasiakan hubungannya dengan semua orang, dan tentunya ke Alfikar. Yang Alfikar tahu hanyalah Mahesa makin kesini makin berbeda dari sebelumnya dan begitu juga Grace yang agak tidak nyaman ketika ia rangkul di depan Mahesa. Mungkin hanya perasaannya saja. Jadi Alfikar mengabaikannya dan mengintip ke laci meja belajarnya, tersenyum kecil.
“Tunggu sebentar lagi, ya.”
———
Hari itu pengumuman kelulusan.
Sejak pagi, bahkan sebelum rapat guru untuk membicarakan kelulusan dimulai, para siswa dan siswi sudah kompak membawa cat semprot dan spidol. Beberapa dari mereka yang memiliki bakat seni bahkan sudah menggambari bagian punggung seragam mereka sendiri dengan gambar-gambar artistik yang membuat Grace iri. Namun ia tidak mau mencoret-coret seragam bersihnya seperti teman-temannya yang semangat akan hal itu.
Rencana Grace hari itu adalah bersembunyi di ruang ganti klub basket hingga pengumuman kelulusan, perpisahan, dan acara pentas seni dimulai. Dia hanya ingin menghindari keliaran teman-temannya yang terlalu hype dengan tradisi ‘mencoret baju sebagai tanda kelulusan’.
Akhirnya acara pengumuman akan segera dimulai, mereka duduk sesuai bangku dan barisan kelas mereka masing-masing, tentunya Mahesa, Grace dan Alfikar duduk bertiga di barisan ketiga dari depan. Kepala sekolah ingin memberikan rasa sambutan dan rasa terimakasih kepada mereka katanya. Mahesa terlihat tampak menampilkan raut muka tidak nyaman, sedangkan Alfikar memasang raut wajah tegang. Grace yang menotis keduanya bertanya dan meledek keduanya. “Muka lo sepet banget sih Sa? Lo juga, tegang banget. Santai aja kenapa sih pada, udah tau bakal lulus 100% kenapa pada panik banget?”
“Udah mau mulai, diem.” Mahesa memilih mengalihkan topik, menunjuk kepada kepala sekolah mereka yang naik ke atas panggung dan membacakan ucapan terimakasih yang menyebutkan nama ketiganya. “Gue penasaran, kira-kira ada kejutan apa ya tahun ini?”
“Hm?” Alfikar menoleh penasaran. “Kejutan gimana?”
“Tahun lalu ‘kan, kak Dewata nembak kak Martha pas kelulusan gini. Masa’ lo ga inget, sih? Terus tahun sebelumnya lagi, Nadia disurprisein sama Dimas, terus—”
Mahesa memotong pembicaraan Grace yang sangat amat excited dengan apa yang ia nantikan, “Jangan berisik kita lagi diliatin kepala sekolah.” Mahesa sengaja mengalihkannya agar raut wajahnya tidak datar. Setelah sambutan dari kepala sekolah selesai, Alfikar izin pamit untuk penampilannya memainkan piano sambil bernyanyi dari hasil latihannya 1 bulan bersamanya di studio musik.
“Grace, lihat aku deh.”
Grace menolehkan kepalanya dan menatap Mahesa lekat-lekat, tatapan yang didapatnya tidak dapat dilihatnya dari bola mata Mahesa. Disana terdapat perasaan acak dan berantakan bahkan dia sendiri tidak bisa menebak apa yang dipancarkan dari tatapan Mahesa. “Aku sayang kamu ya?”
Grace memudarkan kerutannya dan menghembuskan nafas lega. “Aku kira kamu mau ngomong apa, takuuttt. Iyaaa Maheeess, aku juga sayang kamu.”
“Kalau kamu disuruh milih antara aku sama Alfikar kamu bakal pilih siapa, Grace?”
“This question agaaiin?? Mahesa, listen. I—”
“Ehem,”
Keributan penonton mereda seketika saat Alfikar mengetuk mic dan berdehem.
“Mohon perhatiannya.” Pemuda itu tersenyum, yang menyebabkan beberapa siswi memekik. “Jadi, sekarang gue mau mempersembahkan sebuah lagu. Semoga pada suka, ya.”
Pemuda itu lalu mulai menekan tuts-tuts piano, membentuk nada-nada indah yang langsung dikenali oleh mereka semua.
“The day we met, frozen i held my breath...”
A Thousand Years by Christina Perri
Dan Grace spontan menganga saat Alfikar membuka mulut untuk menyanyikan bait demi bait lagu tersebut.
“Right from the start, i know i’ve found a home for my heart, beats fast. Colors and promises...”
Seluruh penonton terhanyut dalam penampilan itu, beberapa tampak mengusap air mata terharu, beberapa bahkan merekam aksi Alfikar di atas panggung. Sementara Grace tanpa sadar menutup mata, mengangguk-angguk mengikuti nada piano dan suara Alfikar. Dia sama sekali tak menyangka sahabatnya itu memiliki bakat bermusik sebagus ini. Mahesa menatapnya lekat-lekat, mulutnya kaku untuk mengucapkan kalimat panjang yang menjelaskan perasaannya sekarang.
“Every breath, every hour has come to this.
One step closer...
I have died everyday waiting for you.
Darling don’t be afraid i have loved you for a thousand years,
I’ll love you for a thousand more.
And all along i believed i would find you.
Time has brought your heart to me, i have loved you for a thousand years.
I’ll love you for a thousand more...”
Sesaat hening, seakan memberi waktu bagi para pendengar untuk meresapi lagu tersebut. Namun sejurus kemudian tepukan riuh terdengar dari berbagai penjuru, beberapa suitan, hingga pekikan. Para guru dan kepala sekolah bahkan memberikan standing applause untuk penampilan Alfikar.
Alfikar tersenyum setelah selesai menampilkan penampilannya, sementara para penonton memekik lagi. Matanya bergulir ke sana-kemari, mencari sosok Grace, yang tidak terlalu sulit karena warna rambut lelaki itu yang berbeda dari sekelilingnya. “Lagu ini sebenernya gue persembahin buat seseorang yang spesial—“
Penonton bersorak lagi.
“Orang ini, yang tahan sama gue terus meski baru dua tahun kita sama-sama. Tahan sama tengilnya gue dan sambatan tentang hidup gue. Yang tahan ada di sisi gue. Temen terbaik gue, sahabat gue, partner in crime gue. Lagu ini buat sahabat gue yang katanya gak pernah percaya cinta, well, sebaiknya lo percaya mulai sekarang, karena gue jatuh cinta sama lo.”
“Lagu ini untuk Grace Anastasya.” Alfikar melakukan kontak mata dengan Grace kemudian tersenyum. Namun reaksi yang diharapkan oleh Alfikar adalah reaksi yang tidak ia ingin lihat seumur hidupnya.
Grace menangis meraung-raung, bukan karena terharu, tapi karena ia menolak secara terang-terangan. Grace menekap mulutnya, tak ingin mengeluarkan suara apapun. Matanya bergulir ke sana-kemari dengan panik. “Gue—“ Dia menghela nafas, memutuskan untuk akhirnya memberitahukan hal yang sebenarnya pada Alfikar. “Gue gak bisa. Gue udah punya hubungan sama Mahesa lebih dulu selama satu tahun terakhir ini secara diam-diam dan ngga pernah ngasih tau lo soal ini.” Suara Grace mengecil. Menurutnya, itu adalah hal pribadi yang tak perlu orang lain tahu.
Hari itu juga Alfikar adalah salah satu orang yang malu semalu-malunya ia kalah dalam perlombaan. Semua upayanya sia-sia, dirinya sangat terkejut sampai tidak mampu mengeluarkan sepatah kata apapun dari mulutnya, lidahnya kelu. Matanya melirik Mahesa dengan rasa kecewa dan semuanya menjadi gelap.
Untuk apa dirinya melihat dunia lagi jika ternyata dunia yang selama ini dia harapkan dan ia perjuangkan selama ini adalah milik orang lain? Untuk apa ia bisa melihat dunia yang ia dambakan dan ia kagumi sekarang bersama orang lain yang ternyata lebih dulu menjadikannya sebagai dunianya?
Saat itu, Mahesa menyesal dengan langkah yang ia ambil dan menjadikan Alfikar sebagai rivalnya dalam hal apapun.
Komentar
Posting Komentar