Reason: The reason behind why Alfikar fell in love with Grace, also Mahesa and Grace who fell in love with each other. 

Content warned, contain self harm, cigarette, may will be triggering.


💣💣💣


“Tau gak, kandungan tar di dalem rokok tuh bisa ngebuat warna bibir sama kuku jadi coklat jelek?”


Alfikar seketika berjengit mematikan rokoknya, lalu mendongak untuk melihat orang yang berbicara dengannya. “Oh, lo.” Pemuda itu tersenyum kecil saat melihat Grace mendekatinya. “Ngapain ke sini?”


“Seinget gue, rooftop itu tempat umum deh. Lagian ini udah jam pulang sekolah, Fik. Harusnya gue yang tanya, ngapain lo di sini.”


Alfikar mengecek jam tangannya lalu tertawa. “Damn you’re right.”


“Tapi serius, deh. Rokok itu gak baik buat kesehatan. Lo bisa aja kena penyakit jantung, kanker paru, dan banyak lagi.” Grace mengenyakkan diri di sebelah Alfikar yang duduk bersandar ke dinding. “Gue baru tau lo ngerokok, fyi.”


Alfikar hanya tersenyum. “Cuma pelarian,” ucapnya singkat.


Grace mengangguk-angguk kemudian merogoh sakunya, mengeluarkan dua permen loli cokelat dan menyerahkannya pada Alfikar. “Gue gak ada cokelat beneran, ini aja ya Fik.”


Alfikar menerimanya dengan alis terangkat. “And this is for...?”


“Chocolate releases endorphine, which is good if you got a mental pressure.”


“Fair point. Makasih, ya.” Pemuda berambut hitam gelap itu membuka salah satunya dan memakannya. “Lo aneh tau gak?”


Grace menoleh pada Alfikar, keningnya mengernyit. “Gue? Aneh?”


Alfikar mengangguk-angguk. “For someone who doesn’t really know me, you care enough.”


Grace hanya tertawa. “Jadi intinya, gue terlalu baik?”


“Maybe. Gue sering aja penasaran, gitu. Kenapa beberapa orang punya hati yang terlalu baik, atau terlalu tulus, terlalu peduli.”


“Ini kenapa topiknya jadi macem pelajaran sosio?” Pemuda bersurai gelap itu tertawa. “Kalo menurut gue sih, because it takes nothing to be a kind person. The world has enough amount of evil, we need some kindness.”


Alfikar tersenyum meledek. “Aduh, kepala gue pusing. Bahasa lo tinggi banget dah.”


Grace tertawa setelahnya. “You know, you look like a person who has seen those evils.” Grace berujar pelan setelah hening beberapa saat. “Maaf, bukan bermaksud gak sopan nih ya,”


“I did.” Alfikar menjawab ringan. Lalu dia mulai bercerita. Entah kenapa pemuda itu merasa mudah sekali membuka diri untuk Grace. Dengan mudahnya dia bercerita pada orang yang baru saja dikenalnya dalam kurun waktu dua bulan itu. Ada sesuatu yang berbeda dari gadis itu, yang bahkan tak ditemukannya dari teman-temannya yang lain.


Grace hanya mengangguk-angguk setelah Alfikar selesai bercerita. “Itu—keren.”


“...keren?”


“Iya, tapi bukan jenis keren yang ‘wow, gue pengen kayak gitu juga’. Itu keren yang ‘ini orang hebat banget masih bisa bertahan setelah itu semua’. Bisa dipahami gak kalimat gue?”


Alfikar tertawa kecil. “Rada belibet, tapi gue paham kok maksudnya.”


“Gue gak tau rasanya jadi lo, tapi menurut gue, lo kuat banget. Masih bisa bertahan setelah itu semua.”


“Lo nilai gue terlalu tinggi.”


Grace lagi-lagi hanya tersenyum. “Lo pantes buat dinilai tinggi.”


Alfikar tertawa. “Ten out of ten?”


Gadis bersurai gelap itu mengulas senyum menawan. “You are one thousand out of ten.”

                                                     

“Gila lo Grace!”


Grace terbahak. Mereka kini ada di rumah Grace —di kamarnya, untuk lebih tepatnya— dengan Mahesa yang masih ternganga setelah dia menceritakan semuanya, termasuk soal lukisannya yang pernah dirusak waktu itu. “Keren kan gue?”


Mahesa hanya menatap sahabatnya lalu menggeleng-geleng. “Sumpah, lo kayaknya gak waras.”


“Gue udah ngelalui ini semua, lo pikir gue masih waras?” Gadis itu memandangi langit-langit kamarnya yang berhias sticker glow in the dark. Dia kemudian bangkit duduk, dan membuka nightdrawernya.


“Nyari apaan?” Mahesa ikut bangkit dari tempat tidur Grace, melirik ke dalam laci.


“Ini,” Grace melambaikan silet di tangannya. “I need to feel something.”


“Jangan.” Mahesa mendelik. “Please, don’t.”


“Gue gak bakal lakuin di depan lo, kok.” Grace mengendikkan bahu.


“Bukan itu problemnya.” Mahesa menghela nafas, kemudian mengulurkan lengan kirinya pada Grace. “Cut me, then.”


Grace menganga tak percaya. “Gue gak bisa.”


“Kenapa?”


“Gue gak mungkin setega itu sama lo.”


“Then why you did it to yourself?” Mahesa memandang lembut sahabatnya. “Lo gak tega sama gue, terus kenapa lo tega sama diri lo sendiri?” Pemuda itu menarik lengan kiri Grace dan mendaratkan kecupan-kecupan lembut di atas bekas lukanya. “How can you care with me if you don’t care with yourself?”


Grace mengedip, sebutir air mata jatuh ke pipinya. “I love you,” bisiknya pelan. “I love you, because you can love me when i can’t even love myself.”


Mahesa tersenyum, mengulurkan tangan untuk menangkup kedua pipi Grace kemudian mengecup keningnya. “Lo udah tau kalo gue sayang banget sama lo, kan?”


Grace mengangguk.


Mahesa menggunakan ibu jarinya untuk menghapus titik air mata di ujung mata gadis itu, kemudian mengecup masing-masing kelopak mata sahabatnya. “Asal lo tau aja, gue gak pernah sayang sama orang sebegininya. Sama sekali gak pernah.”


“Gue tau.” Grace menjatuhkan siletnya ke lantai lalu menendangnya hingga melenting jauh ke dalam kolong tempat tidur. Pemuda pirang itu lalu mengalungkan lengannya di sekeliling leher Mahesa, menempelkan dahinya dengan dada Mahesa. “Thank you for loving me, Mahesa.” Bisiknya pelan.


Mahesa merengkuh pinggang sahabatnya, memberikan kecupan lembut di pucuk kepalanya. “No need cause i’ll always love you.”


Grace belum pernah merasa dicintai.


Selama tujuh belas tahun hidupnya, dia tak pernah mendapatkan kasih sayang yang sesungguhnya. Entah itu dari orang tuanya, atau bahkan dari para pengagumnya.


Grace besar dengan trauma masa lalu. Dia menyaksikan hubungan harmonis kedua orang tuanya di hadapan publik, yang sebenarnya tidak lebih dari sekedar formalitas belaka. Selama ini, dia terus mencari arti cinta yang sesungguhnya. Dia tak pernah mengencani satu pun orang yang menunjukkan ketertarikan padanya, semata-mata karena belum ada seorang pun yang dapat menawarkan padanya janji yang realistis.


Janji tentang sebuah hubungan yang hangat, yang tidak sempurna namun saling menerima. Bukan sekedar kata-kata manis atau imbuhan ‘selamanya’ yang sudah pasti fana.


“Makasih,” Grace tanpa sadar bergumam pelan, saat Mahesa merengkuhnya dan masih memeluk dirinya. “For not giving up on me.”


Mahesa tersenyum, mulai menyisir surai milik Grace dengan jari-jari tangan miliknya. “I’ve promised. And apparently, i cannot give up on you.”


Khalila Putri Ayunda 

X IPS 4




                                            


 

Komentar

Postingan Populer